Memaknai Kehidupan: Optimisme di Tengah Tragedi
oleh : syahrin shafa
Tulisan ini berangkat dari salah satu buku terbaik sepanjang sejarah -dikarang oleh Viktor E. Frankl- yang berjudul Man’s Search for Meaning. Buku yang sengaja dipilih untuk sedikit memberikan pandangan kepada mereka yang sedang merefleksikan hidup -khususnya penderitaan yang dialami- sebagai pengalaman autentik manusia.
Mula dari buku ini menceritakan pengalaman Frankl di kamp konsentrasi Nazi. Persaingan keras di dalam kamp membuat manusia akhirnya harus memilih antara menyerah atau berjuang demi hidupnya, juga untuk orang-orang yang mereka cinta. Manusia yang berada dalam kamp penampungan tidak lebih sekadar angka bagi rezim waktu itu, mereka yang sakit atau lemah -dan yang terpenting tidak dapat bekerja- akan menjadi antrian selanjutnya menuju kamar gas. Setiap hari para tawanan dekat dengan suara teriakan, cambukan, luka-luka karena bekerja di dalam lumpur yang tidak bisa dibasuh akibat tersumbatnya pipa-pipa air, dan kaki yang melepuh karena radang dingin. Kelaparan juga menjadi peristiwa yang tidak asing bagi mereka, jatah makanan yang hanya seperlima ons untuk empat hari.
Penderitaan nyata tawanan membuat banyak dari mereka mengalami kehampaan hidup. Manusia dalam kondisi ini berada dalam pergulatan mental yang berpotensi besar mengacaukan sistem nilai yang diyakininya. Bayangkan saja, kelompok manusia telah menjadi objek pemusnahan yang didalamnya tidak lagi mengenal nilai kemanusiaan dan segala bentuk kemuliaan. Namun, hal yang mengharukan di atas tumpukan penderitaan itu adalah masih ada tawanan yang merelakan bagian rotinya untuk tawanan lain, sedangkan dirinya juga berada dalam kondisi kelaparan. Gambaran tersebut akhirnya juga telah menjadi alasan bahwa tidak semua manusia saat berada dalam kondisi yang terpuruk akan berbuat jahat kepada yang lain. Manusia yang bermartabat akan tetap melakukan perbuatan yang sesuai dengan prinsip hidupnya, sesederhana apapun itu.
Bagian peristiwa lain yang Frankl sadari ialah waktu tidur bagi mereka menjadi ruang istirahat terbaik, untuk melupakan sejenak realitas yang sangat buruk dan beranjak kepada mimpi-mimpi indah. Pada satu malam di kamp, Frankl terbangun dari tidurnya karena seorang tawanan tengah meronta dan minta tolong dalam tidurnya. Namun saat Frankl ingin membangunkannya, niat itu ia urungkan dengan alasan yang sebagaimana dinyatakan :
[…] Saat itu saya sadar bahwa, tidak ada mimpi, betapa pun buruknya, yang lebih buruk dari kenyataan hidup di kamp konsentrasi […][1]
Selanjutnya, Frankl memberikan pemahaman secara ringkas tentang Logoterapi atau aliran psikoterapi ketiga dari Wina. Logoterapi dapat diartikan sebagai psikoterapi yang memusatkan makna hidup dan upaya manusia mencari makna hidup.[2] Teori ini percaya, bahwa setiap manusia membutuhkan makna hidup dan dalam perjalanannya bisa saja mengalami frustasi eksistensial. Kondisi yang akhirnya membuat manusia mengalami penderitaan dan menimbulkan ketegangan batin justru merupakan prasyarat yang dibutuhkan, jadi Frankl percaya bahwa penderitaan tersebut bukan ujuk-ujuk adalah penyakit mental. Sedikit dikutip dari pernyataan Frankl :
[…] Kepedulian seseorang, bahkan keputusasaannya dalam mencari makna penuh dari hidupnya merupakan kesulitan eksistensial, tetapi sama sekali bukan penyakit mental.[3]
Namun, bukan berarti untuk menemukan makna hidup harus selalu menderita. Manusia juga dapat memperolehnya melalui kebahagiaan atau jalan yang lain. Lebih lanjut, menurut Frankl penderitaan yang dimaksud sebelumnya ialah penderitaan yang ‘tak terhindarkan’. Saat penderitaan dalam hidup manusia masih bisa dihindarkan, maka harus kita hilangkan penyebabnya supaya kita tidak membebani diri dengan penderitaan yang tidak perlu.
Makna hidup dalam Logoterapi dapat ditemukan melalui tiga cara: melalui pekerjaan atau perbuatan; dengan mengalami sesuatu atau melalui seseorang; dan melalui cara kita menyikapi penderitaan yang tidak bisa dihindari.[4] Dalam penderitaan yang dialami, potensi harapan tentang masa depan (misalnya mewujudkan sistem nilai) yang bahagia itu masih dapat terjadi -walaupun sangat kecil. Optimisme semacam itu akhirnya juga dibutuhkan untuk tetap bertahan hidup. Pada prosesnya, makna hidup dapat kita lihat ketika manusia menentukan keputusan dan memilih bertanggungjawab terhadap keputusannya. Dalam konteks pengalaman para penghuni kamp konsentrasi, telah membuat mereka mengalami penderitaan yang tak terhindarkan maka yang seharusnya dilakukan adalah dengan tetap hidup dan melakukan upaya pencarian makna hidup. Alasan sederhananya jika kita mengutip Nietzche “dia yang memiliki mengapa dalam hidupnya, akan bisa menanggung hampir semua bagaimana”.
[1] Viktor Frankl, Man’s Search for Meaning, t.t., 40.
[2] Frankl, 143.
[3] Frankl, 148.
[4] Frankl, 160.